Selasa, 21 Juni 2011

Energi Nuklir Dinilai Tidak Tepat untuk Indonesia

Pembangkit listrik tenaga uap di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi, menyatakan wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir bukan solusi untuk mengatasi krisis energi di Indonesia. Kekurangan energi di Indonesia terjadi bukan karena kurangnya sumber energi, tapi karena kesalahan tata kelola dan manajemen yang tepat.
Saat ini, sumber daya energi Indonesia tidak bisa dikendalikan penuh oleh pemerintah," ujar Rinaldy dalam diskusi CSIS "PLTN di Indonesia Aspek Kesejahteraan dan Keselamatan", hari ini, Kamis, 12 Mei 2011.

Hal itu terjadi karena produksi energi nasional sebagian besar sudah terikat kontrak jangka panjang dengan pihak lain. Misalnya, Indonesia saat ini adalah penghasil batubara terbesar di dunia dengan cadangan 104 miliar ton. Begitu pula dengan produksi gas, di mana hampir 50 persen untuk kepentingan ekspor.

Selain itu, perusahaan negara yang bergerak dalam bidang energi, seperti Pertamina, Perusahaan Listrik Negara, dan Perusahaan Gas Negara, sudah beralih fungsi tidak lagi melayani publik, tapi juga berorientasi bisnis.

Rinaldy memaparkan akan lebih efektif jika pemerintah fokus pada pembangunan sumber energi dengan potensi yang ada. "Sebesar 40 persen potensi energi panas bumi di seluruh dunia, ada di Indonesia. Gunakan potensi ini," kata dia.

Tidak hanya panas bumi, untuk energi terbarukan Indonesia berpotensi energi hydro 75,67 Giga Watt (GW), Energi tenaga ombak 240 GW, dan biomassa, 49,81 GW.

Sementara, dalam pembangunan PLTN banyak hal yang harus dipertimbangkan. Seperti, kelangkaan bahan bakar PLTN, yaitu uranium, risiko kemanan, dan minim sumber daya manusia yang siap untuk mengelola PLTN.

"Uranium dan bahan bakar PLTN harus diimpor. Ujungnya akan menambah beban subsidi listrik juga," kata dia.

DWITA ANGGIARIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar